Memahami Taliban dan Akar Konflik Afganistan
Oleh: Muhammad Yamin (Direktur LBH PP PERSIS dan Ketua Dewan Syuro PP GPI)
Taliban berhasil menguasai kembali Afghanistan setelah 20 tahun tersingkir akibhat invasi Amerika serikat yang kemudian membentuk pemimpin-pemimpin boneka. Berbagai respons negara-negara dan masyarakat dunia muncul setelah itu. Kebanyakan dari respon tersebut, mayoritas terpengaruh narasi-narasi media barat.
Inggris, Perancis, dan Kanada tegas menolak dan tidak mau mengakui Taliban, Uni Eropa hingga saat ini belum ada tanda-tanda akan mengakui taliban di Afghanistan. Indonesia, masih wait and see. Bahkan, berbagai flatform sosial media seperti Facebook, Whatsapp, Instagram, Youtube, hingga TikTok pun menyatakan akan terus melarang konten yang berkaitan dengan Taliban. Hanya China, Rusia dan Pakistan yang dengan jelas menyatakan dukungan, serta akan segera membangun kerjasama dengan Taliban.
Narasi yang dijadikan dasar atas semua penolakan dan keresahan barat adalah alasan bahwa Taliban telah dikenai sanksi sebagai organisasi teroris di bawah hukum Amerika Serikat. Begitupun, sejak tahun 1999, PBB memang telah memberikan sanksi terhadap Taliban dan dituduh sebagai kelompok teroris.
Narasi itu adalah sebuah ironi politik internasional, karena sebuah kelompok perjuangan pembebasan atas intervensi dan penguasaan asing terhadap sebuah bangsa, justru di opinikan sebagai sebuah gerakan teroris.
Faktanya, Taliban awalnya merupakan kelompok etnis pashtun yang pada akhir tahun 80 an bergabung bersama kelompok etnis Tajik dan Uzbek membentuk kesatuan perjuangan Mujahidin melawan rezim komunis dukungan Uni Soviet. Narasi jihad membuat perlawanan para Mujahidin semakin kuat. Sebab, isu perang tidak hanya dilihat sebagai perebutan teritorial saja, tetapi lebih bersifat religius. Yakni perjuangan antara berbagai kelompok Islam melawan Ateis. Oleh karena itu, banyak gerilyawan Mujahidin datang dari ribuan sukarelawan di seluruh dunia dari negara-negara Islam.
Perjuangan Mujahidin, dengan diantaranya mendapat bantuan senjata dari AS, berhasil memaksa Soviet untuk menarik pasukannya pada 1989. Perang saudara setelah Soviet mundur akhirnya membuat Burhanuddin Rabbani dari etnis Tajik menjabat sebagai presiden sementara dari Juli hingga Desember 1992. Ia kemudian diangkat sebagai presiden penuh pada Januari 1993.
Terplihnya Burhanuddin Rabbani yang didukung Amerika serikat menimbulkan ketidak harmonisan. Mujahidin dari etnis Pashtun merasa kelompok mereka lebih cocok menjabat sebagai pemimpin Afganistan, karena menganggap Burhanuddin Rabbani dari etnis Tajik tidak lebih dari boneka AS.
Setelah itu Mujahidin dari etnis Pashtun membentuk kelompok perjuangan Islam bernama Taliban pada September 1994. Mereka didominasi oleh kelompok santri dari etnis Pashtun yang menginginkan pemulihan keamanan, perdamaian dan sistim negara Afganistan berdasarkan syariat Islam.
Taliban berasal dari bentuk jamak dari bahasa Arab “talib” yang berarti penuntut atau pencari ilmu, atau murid. Secara harfiah, komandan-komanadan, milisi, dan pasukan taliban memang berasal dari generasi-generasi yang memperoleh pendidikan dari madrasah-madrasah dan sekolah keagmaan yang dibangun secara darurat di tempat-tempat pengungsian perbatasan Pakistan-Afganistan, atau gua-gua sekitar wilayah Kandahar dan Jalalabad. Pimpinan-pimpinan militer Taliban seperti, Mullah Muhammad Yaqoub, Mullah Sadar Ibrahim atau Mullah Qaum Zakir, adalah jebolan pendidikan di madrasah-madrasah tersebut.
Kemunculan Taliban awal dibawah kepemimpinan Mullah Mohammed Omar, disambut baik oleh masyarakat Afganistan. Mereka mendapat simpati karena Taliban tidak menjarah, memperkosa, dan menculik seperti yang lumrah dilakukan Mujahidin dari kelompok etnis Tajik. Etnis Pashtun mendapat identitas yang baru sebagai Taliban memberikan Afganistan kekuatan baru. Di mata rakyat kecil, Taliban adalah penyelamat.
Pada 1996, Taliban menguasai Kabul kemudian mengambil alih pemeritahan. Sejak September 1996 hingga 2001, Taliban mengumumkan sistim pemerintahan dan kehidupn negara berdasar Syari’at Islam. Michael Buehler dalam bukunya “The Politics of Shari’a Law” (2016), juga Taufik Adnan Amal dalam “Politics of Islamic Sharia: From Indonesia to Nigeria”, menulis “Ketentuan yang merendahkan dan membatasi perempuan dipandang penting oleh Taliban untuk mencegah negara mereka jatuh ke dalam kejahatan dan pelecehan, seperti yang terjadi di negara-negara Barat dengan emansipasi perempuannya”. Sehingga, diterapkanlah pembatasan-pembatasan bagi kaum perempuan.
Pemerintahan Taliban juga melarang alkohol, bioskop, musik, internet, televisi, dan fotografi, hingga sistim bisnis kapitalistik. Tak hanya itu, mereka juga membangun penjara wanita bagi pelanggar shari’ah. Yang terpenting adalah dilarangnya penanaman pohon-pohon opium, yang sebenarnya merupakan bisnis penghasil miliaran dollar, dan kelak inilah yang menjadi sumber konflik yang sesungguhnya.
Akar Konflik Afganistan
Wilayah Afganistan berada dalam posisi terkurung daratan, terletak di Asia Tengah dan Asia Selatan. Dengan posisi demikian, Afganistan merupakan wilayah yang strategis, baik secara geopolitik, maupaun geoekonomi. Lokasi strategis negara tersebut di sisi sepanjang jalur sutra(silk road) telah menjadikan Afganistan penghubung jalur dan budaya Timur Tengah dan Asia bagian lain, serta Eropa Timur. Afganistan berbatasan langsung dengan Iran di barat, Pakistan di timur dan selatan, Turkmenistan, Uzbekistan dan Tajikistan di utara, serta China (Tiongkok) di Timur Laut.
Pada pertengahan hingga akhir abad 19, Afganistan merupakan negara penyangga di antara Kekaisaran Rusia dan Kemaharajaan Britania. Kerajaan Inggris dan Tsardom Rusia melihat bahwa Afganistan adalah wilayah penting yang akan melanggengkan kekuatan kedua negara itu. Afghanistan menjadi lapangan tempur yang dikenal sebagai Great Game, yakni persaingan antara Inggris dan Soviet untuk menguasai Asia Selatan hingga Teluk Persia.
Dalam konstelasi global saat ini, semakin menguatnya persaingan dua kekuatan antara AS versus china, membuat Afganistan menjadi penting bagi Pakistan dan China yang semakin solid membangun aliansi strategis menghadapi AS dan NATO. Disaat yang sama, Iran dan Rusia juga memiliki kepentingan stratgesi secara geopolitik terhadap Afganistan. Sejarah juga mencatat, bahwa Afganistan merupakan wilayah yang merupakan barrier (penopang) bagi Rusia dalam mengantisipasi intervensi dari China dan Pakistan.
Dalam konstelasi global yang semakin memanas antara kutub AS versus Cina belakangan ini, Afghanistan saat ini merupakan wilayah yang amat vital bagi Pakistan dan Cina yang saat ini sepertinya semakin solid menjalin persekutuan strategis menghadapi AS dan NATO. Namun pada saat yang sama, Afghanistan pun memiliki nilai geopolitik yang strategis bagi Rusia dan Iran. Apalagi jika menelisik kesejarahannya, terutama semasa Perang Dingin, Afghanistan merupakan daerah barrier (penopang rintangan) bagi Rusia, untuk mengantisipasi kemungkinan intervensi dari Pakistan maupun RRC.
Di era perang dingin, AS berkepentingan menguasai Afganistan untuk membendung pengaruh Soviet ke Asia tengah dan Selatan. Sehingga AS membantu Mujahidin mengusir pengaruh Soviet dari Afganistan. Saat ini, ketika Taliban yang jelas-jelas anti barat, berkuasa di Afganistan, tentu membuat AS dan NATO khawatir. Bagaimana jadinya bila Afganistan (Taliban) menyatukan suatu wilayah besar Iran, Rusia, China dan Pakistan dalam satu kesatuan wilayah geo politik secara bersamaan? Sudah bisa dipastikan itu akan mempengaruhi konfigurasi peta kekuatan internasional.
Tak mengherankan, behwa ketika Taliban berhasil merebut Kabul dan pemerintahan di Afganistan, Rusia, China dan Pakistan pun langsung menyatakan dukungannya terhadap Taliban. Di sisi lain, Barat (AS dan NATO) terlihat begitu khawatir, dengan segera melakukan pertemuan darurat di PBB (The Guardian, 17/8/2021) dan menghimbau agar semua negara menolak pemerintahan Taliban.
Jalur ekonomi Afganistan pun, memiliki nilai strategis, bahkan hingga saat ini. Afganistan merupakan akses jalur yang dilewati untuk jalur pipa gas dan minyak serta jaringan listrik. Selain itu, di Afghanistan juga ada pipa gas yang melintang dari Iran ke Cina. AS semula mau menutup akses energi Cina berasal dari Iran, dan kini untuk sementara perhatian AS lebih terfokus untuk mengamankan Laut China Selatan.
Selain itu, ada juga pipa gas dari Turkmenistan, yaitu TAPI (Turkmenistan-Afghanistan-Pakisran-Indua), ada juga proyek infrastruktur CPEC (China-Pakistsn Economic Corridor). Ada juga jaringan kabel listrik dari Tajikistan untuk Afghanistan dan Pakistan. Belum lagi transit route dari Pelabuhan Karachi, Gwadar dan Bandar Abbas ke Asia Tengah.
Begitupun, kepentingan AS di Afganistan bukan hanya dari segi penguasaan ruang dan geopolitik, tetapi juga menyangkut pemasukan miliaran dollar yang berasal dari bisnis narkoba di wilayah itu. Michel Chossudovsks dalam tulisannya di globalresearch bertajuk: “The Spoils of War: Afghanistan’s Multi-billion Dollar Heroin Trade. Washington’s Hidden Agenda: Restore the Drug Trade”, mengungkap bagaimana keterlibatan AS dan elit global dalam perdagangan opium di wilayah Afganistan.
Terungkap, bahwa sejak 1980 an, AS dan Elit penguasa ekonomi global melalui CIA sudah mengontrol dan melindungi praktek perdagangan narkotika di wilayah itu. Afganistan adalah wilayah yang dikenal dengan sebutan Golden Crescent atau ‘Bulan Sabit emas’, merupakan istilah yang digunakan untuk mengidentifikasi suatu wilayah penghasil opium terbesar di dunia. Wilayah Golden Crescent meliputi Iran, Afghanistan, dan Pakistan yang terletak di Asia Selatan.
Wilayah ini dikategorikan sebagai situs global utama dan sumber produksi serta distribusi opium. Afganistan menjadi pusatnya, dengan 90% perdagangan opium dan heroin di seluruh dunia berasal dari wilayah ini. Tidak kurang dari 26 Milliar Dollar AS setiap tahun perputaran uang dari wilayah ini yang berasal dari bisnis perdagangan opium dan heroin.
Ketika Taliban berkuasa pada 1996 hingga 2001, pemerintahan taliban melarang penanaman opium dan melakukan sweeping terhadap perdagangan opium. Hal itu berpotensi menghentikan pemasukan milaran dollar bagi pemerintah AS yang digunakan untuk biaya militer AS sebagai “polisi dunia”. Selain itu, penghentian bisnis narkotika di wilayah itu juga berpotensi mengurangi transaksi keuangan global yang dilakukan melalui pencucian uang dan transaksi perbankan oleh para gembong narkotika. Yang bisa mengakibatkan berkurangnya pengendalian mata uang oleh penguasa ekonomi global melalui perbankan.
Dengan demikian, keberadaan Taliban yang melarang bisnis haram ini, berpotensi mengancam transaksi keuangan global yang berasal dari bisnis opim dan heroin.
Pasca aksi teror pengeboman gedung WTC dan gedung Pentagon pada September 2021, AS memutuskan untuk menginvasi Afghanistan dengan dalih bahwa negara para mullah tersebut telah melindungi Osama bin Laden dan Al Qaeda. Namun seturut dengan dikuasainya wilayah territorial Afghanistan, perdagangan narkotika di wilayah Golden Crescent—terutama Afghanistan di bawah perlindungan Badan Intelejen Pusat AS (CIA) kembali meningkat.
Terdapat tiga rute dalam perdagangan opium dan heroin yang terdefinisi dengan baik, dan ketiga rute ini seluruhnya melalui rute Golden Crescent: 1) Rute Balkan, beroperasi melalui Iran dan Turki, menyebabkan perdagangan narkotika di rute ini bisa mencapai Eropa; 2) Rute Utara, yang mana rute ini memasok heroin ke Rusia dan Asia Tengah; (3) Rute Laut Selatan yang memperdagangkan heroin dari Iran dan Pakistan ke seluruh dunia. Ketiga rute tersebut berasal dan harus melalui Afganistan.
Dalam kasus perdagangan narkotika di Afghanistan, keberadaan posisi geografis Afghanistan dinilai telah sangat menguntungkan perdagangan narkotika, sehingga akan selalu berusaha diperebutkan oleh pihak-pihak yang berkepentingan dalam bisnis haram ini.
Itulah sekelumit “rahasia kecil” yang menyelimuti konflik di wilayah Afghanistan. Keberadaan Taliban yang berkomitmen meningkatkan perdamaian dan keamanan dengan berbalut shari’ah islam, berpotensi mengurangi eskalasi konflik politik dan militer di dunia, serta mengurangi bisnis haram ala kapitalis secara signifikan. Sebaliknya, bila berkah Islam hilang dari wilayah strategis Afghanistan, maka konflik dan penguasaan kapitalis di dunia akan semakin meningkat. Wallahu’alam.
Allohu ya’khudzu biaidina ila maa fihi khoirun lil Islami wal Muslimin.