SUARAMERDEKA.ID – Koordinator Gerakan Mahasiswa Pemuda Aceh (GMPA) Muhammad Jasdi, mengkritisi perseteruan para pejabat Eksekutif dan Legislatif di Aceh dianggap hanya bersandiwara. Ia mengganggap perseteruan tersebut hanya drama bertajuk “benci-benci namun rindu jua”.
Pasalnya di publik legislatif seakan-akan begitu memprotes keras kebijakan – kebijakan Pemerintah Aceh yang dianggap salah. Namun pada dasarnya yang dilakukan adalah mencolek bagian-bagian yang tak begitu subtansial. Untuk menutupi subtansi persoalan yang mesti dilakukan legislatif sebenarnya.
“Adegan berjudul penolakan Raqan Pertanggungjawaban Gubernur T.A. 2020 tersebut. Sebenarnya bukanlah sesuatu yang luar biasa dari kinerja DPRA dalam menjalankan fungsi pengawasan. Karena berdasarkan UU nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah hingga UUPA sendiri. Tak ada konsekuensi hingga sanksi sama sekali bagi pemerintah daerah apabila pertanggung jawabannya ditolak legislatif.”
“Sampai hari ini tidak ada satupun subtansi persoalan yang ditemukan dan ditindaklanjuti ke ranah yang lebih serius. Publik hari ini kembali terkecoh, karena masih ada beberapa PR utama DPRA dalam menjalankan fungsi pengawasannya. Namun pandangan publik seakan sengaja dialihkan kepada persoalan pertanggung jawaban ini,” ungkap Jasdi kepada media, Jum’at (03/09/2021).
Koordinator GPMA juga menjelaskan, bahwa dikarenakan pembagian kue refokusing DPR Aceh minim peluang mendapat bagian. Sehingga tentunya mereka tidak berkenan menjadi pihak yang bertindak mencuci piring yang telah dikotori. Menurut pria yang akrab disapa Jhon itu, pergelokan penolakan pertanggungjawaban Gubernur itu sendiri seakan-akan sengaja disetting dengan cara sedramatis mungkin agar publik tertarik dan terfokus perhatiannya.
“Inikan sengaja disetting ibarat pertandingan persahabatan bola dengan skor 5-4 yang menunjukkan DPRA menang tipis atas Gubernur sehingga begitu menarik bagi publik, dan seakan menjelaskan hak angket semakin tak mungkin dilanjutkan.”
“Padahal di lain hal ada PR penting dalam pengawasan DPRA yang terabaikan. Beberapa diantara persoalan tersebut diantaranya kejelasan pengawasan yang dilakukan DPRA terkait kinerja-kinerja Pansus Tindak Lanjut temuan BPK RI. Dan Pansus Pengadaan Barang dan Jasa serta kejelasan tindak lanjut hak angket yang tertunda,” jelasnya.
Menurut Jhon, seharusnya pansus DPRA terkait persoalan temuan BPK sudah membongkar ke publik semua temuan yang belum ditindaklanjuti dan hasil tinjauan ke Lapangan. Begitu juga halnya dengan Pansus PBJ yang seyogyanya juga telah membongkar semua persoalan terkait pengadaan barang dan jasa di ULP Aceh yang didengung-dengungkan ada monopoli hingga pelanggaran tersebut.
“Faktanya hingga saat ini yang disampaikan Pansus DPRA itu juga pinggir-pinggirnya doank, sementara temuan-temuan yang didapatkan tak kunjung ditindaklanjuti ke tahap yang lebih serius. Bahkan temuan tersebut berpotensi dijadikan alat negosiasi untuk memuluskan rindu bertajuk ‘proyek pokir’. Jadi, perumpamaan ‘dilikeu tampa Ngon Jaroe Wie, Dilikot Gusuk Ngon Joe Neun’ sangat tepat dengan adegan yang tengah dimainkan DPRA saat ini,” katanya.
Tak hanya itu, Si Jhon juga menyinggung persoalan perdebatan di tataran pansus DPRA terkait tindak lanjut temuan BPK RI dan eksekutif tentang waktu menindaklanjuti temuan.
“Inikan ada 2 versi, disatu sisi masih berpegangan 60 hari kerja yakni sampai tanggal 22 Juli 2021, namun secara jelas di dalam UU Nomor 15 tahun 2004 dan Peraturan BPK nomor 2 Tahun 2017 disebutkan waktunya 60 hari kelender atau sampai tanggal 3 Juli 2021. Intinya jika mengacu pada aturan,” pungkasnya. (AMN).