Disabilitas Sekunder Menghantui Disabilitas Dunia, Termasuk Anak Anak
Ditulis oleh: Jasra Putra, Komisoner KPAI Kadivwasmonev KPAI.
Hak anak muda tidak sopan, berjalanlah di belakang orang tua
Kalimat ini sering disampaikan orang tua yang menyembunyikan kondisinya. Ketika kita menua ‘kita tidak bisa bohong’ Bahwa ada perubahan kondisi tubuh dan jiwa yang tidak seperti dulu lagi. Dan bila dipaksakan daya tahannya akan lebih menurun. Kita akan merasakan kerentanan. Disisi lain jika anak muda itu tidak memperhatikan apa yang kita sampaikan diatas, maka ada situasi tidak ada pilihan, yang menyebabkan menyerang mental setiap orang tua, dengan menahan perasaannya.
Kalimat ini juga menjadi tanda, bahwa kita tidak siap menua, dengan segala keterbatasan. Andaikan orang tua kita sejak mudanya berjuang aksessibilitas di lingkungannya, mungkin kalimat diatas itu takkan ada. Disinilah kita tahu Disabilitas bukan bicara mereka penyandang disabilitas, tetapi disabilitas itu sesuatu yang pasti dan kita sedang menuju kesana. Disabilitas adalah masa depan kita semua.
Disabiltas juga tidak mengenal umur. Kita menyadari sebagai orang yang hidup di Indonesia ditengah ring of fire, letak geografis yang beragam menyebabkan kita tidak bebas sepenuhnya dari bencana. Baik bencana alam maupun bencana social. Kita dituntut ramah dengan alam dan ramah bencana.
Pemerintah selalu mengingatkan potensi bencana alam, gempa, tsunami, banjir bandang, kerusuhan, pembakaran, perusakan, kecelakaan transportasi. Yang menjadi potensi data disabilitas terus bertambah. Bahkan bencana non alam ini memicu disabilitas sekunder baik bagi penyandang disabilitas maupun non disabilitas, yaitu pengetatan mahluk sosial yang membawa gangguan mental dari ringan sampai berat. Tentu bila tidak teratasi dengan baik, akan semakin memperberat kondisi disabilitas primernya.
Hal inilah yang menjadi perhatian dunia, dalam merayakan Hari Disabilitas Internasional 2020 di masa dunia melawan virus Covid 19. Tema Hari Disabilitas Internasional yang dirayakan dunia setiap 3 Desember ini mengangkat Tema Tidak Semua Disabilitas Dapat Terlihat. Menurut WHO 15 % dari penduduk dunia atau lebih dari 1 milyar penduduk dunia adalah penyandang disabilitas. Yang didalamnya ada 450 juta orang mengalami gangguan mental dan tidak terjangkau akses kesehatan. Hal ini juga ditegaskan dalam data penyandang disabilitas Indonesia dalam Survey Sosial Ekonomi Nasional 2018, ada 14,2 % dari penduduk Indonesia atau 37,58 juta jiwa.
Tema besar itu, menggambarkan situasi penyandang disabilitas dalam melawan dampak virus Covid 19. Bahwa ada yang lebih berat dihadapi penyandang disabilitas atas dampak ikutan dari pengetatan, memang tidak terlihat, namun dapat menjadi potensi disabilitas sekunder yang bisa membawa hal lebih buruk di semua kehidupannya, jika tidak diantisipasi di tahun pandemi kedua.
Penduduk bumi berhadapan dengan disabilitas sekunder berupa gangguan mental ringan sampai berat. Apalagi sebelumnya sudah mengalami penyandang disabilitas primer. Yang bisa berdampak besar pada kehidupan penyandang disabilitas.
Untuk itu menghadapi tantangan pandemi tahun kedua, dunia butuh komitmen lebih dari semua hal. Semua kearifan lokal harus hidup dan bergotong royong, karena sumber itulah yang bisa menghidupkan akses dari sumber terdekat bagi penyandang disabilitas. Begitupun program refocusing negara ini dalam mencegahnya. Saatnya kearifan lokal, budaya, potensi sekecil apapun dibangkitkan karena itulah yang akan menyelamatkan penyandang disabilitas. Upaya sekecil apapun dalam rangka membangun aksessibilitas di segala bidang, mampu menahan laju disabilitas sekunder ini. Dalam rangka menjangkau yang tidak terjangkau.
Tidak hanya mengandalkan rumah sakit, karena itu hanya akan menjadi pemadam kebakaran dari kondisi keterbatasan layanan kesehatan di dunia. Namun bagaimana imunity health, public space sebagai relaksasi benar benar tercipta untuk disabilitas. Dalam rangka mencegah kondisi yang lebih buruk. Agar tema HDI 2020 menjadi perhatian Indonesia dalam mencegah disabilitas yang tidak terlihat.
Masalah besar lainnya adalah pendidikan anak anak penyandang disabilitas. Seperti kita ketahui Desember adalah masa akhir semester untuk peserta didik penyandang disabilitas dinilai lembaga pendidikan. Dimana pendidikan inklusif sangat berperan untuk prestasi penyandang disabilitas.
Lembaga pendidikan terus dituntut berinovasi dalam membangun semangat visi pemerintah dalam membangun merdeka belajar. Bagaimana perspektif memampukan, pemenuhan hak pendidikan menjadi kebutuhan anak anak penyandang disabilitas. Karena kita berhadapan ancaman pada penuruan angka partisipasi sekolah yang tinggi.
Karena jika filosofis merdeka belajar tidak berinovasi, maka kita akan berhadapan dengan anak anak yang tidak bisa memanfaatkan mengisi waktu luang dengan baik. Yang menyebabkan anak anak disabilitas berada dalam tumbuh kembang yang tidak terdukung. Dan kecenderungan mengundang berbagai perlakuan salah akan mudah terjadi, seperti ekspolitasi mereka di pekerjaan yang buruk, pernikahan yang tidak diinginkan, dan mudah berhadapan dengan hukum (baik hukum masyarakat, hukum budaya dan hukum normative). Sehingga angka kekerasan untuk anak anak disabilitas akan semakin meninggi. Kisah anak tuna wicara dibakar ayahnya di Aceh yang belakangan media mengangkatnya medio akhir November, memposisikan anak anak disabilitas lebih beresiko dari anak anak non disabiliitas. Disabilitas sekunder kini dialami anak tersebut dengan luka bakar ditubuhnya. Begitu juga laporan orang tua yang masuk ke KPAI, yang baru saja diterima, tentang perebutan pengasuhan anak disabilitas akibat orang tua bercerai dan menikah lagi, membawa dampak disabilitas sekunder anak disabilitas yang sensitif melihat kondisi orang tuanya.
Menghidupkan social control menjadi kebutuhan pandemi tahun kedua, Harapan kita berada pada para pemegang sosial control yang hidup di masyarakat, seperti aparat RT, RW, Kelurahan sampai Kecamatan untuk mendata kembali bagaimana kehdiupan penyandang disabilitas di tempat mereka. Dengan dukungan para filantrophy dan penggerak sosial kemanusiaan. Kita berharap jangan sampai situasi ini tidak dapat dicegah, bahkan menjadi disabilitas lingkungan yang tidak peduli, untuk menjangkau yang tidak terjangkau.
Dukungan Emergency call menjadi kebutuhan, prakter baik layanan Sejiwa dengan 600 operator psikolog di bawah Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak perlu dikuatkan. Untuk memastikan ketakutan masyarakat di tahun pandemi pertama tidak terjadi di tahun pandemi kedua
Kita harus bangga, negara kita sangat maju dalam bicara disabilitas, dengan lahirnya kebijakan regulasi yang meliputi segala bidang dan kebijakan turunannya baik di pusat pemerintahan maupun didaerah. Namun yang masih jadi masalah besarnya adalah perspektif pelaksanaan dengan berbagai penyebabnya.
KPAI berharap berbagai layanan online terus diperbanyak yang semakin mudah, akses dan memberikan kemandirian dalam menggunakannya di tahun pademi kedua untuk para penyandang disabilitas. Dalam rangka menciptakan relaksasi dari ruang terdekat para keluarga penyandang disabilitas.
Kemudian tantangan terbesar selanjutnya adalah, satu data untuk penyandang disabilitas, agar anak anak disabilitas sejak dalam kandungan sampai dewasa, mendapatkan pemenuhan hak dan hidup yang lebih layak. Karena inilah yang menjadi kunci Negara lebih siap menghadapi besarnya angka disabilitas yang terus bertambah.
Bagaimana sejak dalam kandungan ada proses memampukan orang tua dalam pengasuhan sampai kelahiran. Karena di saat inilah waktu emas anak anak disabilitas, jika mendapatkan therapy yang tepat, maka kedepan mereka akan lebih mudah mandiri dan mengejar cita citanya. Membayangkan situasi ketika mereka dewasa dan mendatangi rumah sakit atau telemedicine, tenaga kesehatan sudah paham sejak awal apa kebiasaan, akomodasi yang layak, kebutuhan aksesnya. Sehingga membantu layanan umum dan kedaruratan. Dengan satu data disabilitas merangkum informasi umum apa yang dibutuhkan, apa yang telah dimampukan, dan riwayat rehabilitasi yang pernah di alami. Sehingga satu data disabilitas ini bisa dikembangkan di semua unit layanan disabilitas yang diamanahkan Undang Undang 8 tahun 2016 tentang penyandang disabilitas di berbagai sektor kehidupan. Kita berharap satu data disabilitas ini juga menjadi harapan kita ketika menua nanti, menjadi data integrase yang memudahkan menyambut masa depan dalam mengakses layanan publik.
Negara yang geografisnya berada di kepulauan, pegunungan dengan isu ketimpangan dan pemerataaan, membutuhkan waktu lebih lama untuk membangun keramahan disabilitas, mulai dari akses infrastruktur dan akses menuju infrastrukturnya. Untuk itu satu data disabilitas menjadi kebutuhan, agar sejak dini proses rehabilitasi, habilitasi benar benar terjadi. Dengan satu data disabilitas, tidak ada lagi stigma, penolakan, diskriminasi. Karena Negara merekam baik dalam memampukan mereka yang lemah dan dilemahkan.