oleh

Ironi Bangsa Pemilik Tanah Ulayat

Ironi Bangsa Pemilik Tanah Ulayat, catatan kecil pojok warung kopi ndeso. Oleh: Malika Dwi Ana

Tanah di Indonesia pada dasarnya, seluruhnya berasal dari hak ulayat, hak adat, dan kemudian sesuai UUD diatur dan dikelola oleh negara dan pemerintahan untuk kepentingan segenap bangsa Indonesia.

Lalu kenapa menjadi begitu rusaknya pikiran-pikiran kita semua ini, tidak bisa menegakkan peraturan-peraturan nyata untuk mengamankan asset ekologi bangsa ini seperti hutan, daerah aliran sungai, kawasan delta dan muara, zona-zona mangrove, dan lalu menggantinya menjadi kawasan pemukiman.

Bahwa penjajahan itu ada dan real. Jika kita kembali pada jati diri sebagai pemilik tanah ulayat, tanah yang diwariskan oleh nenek moyang untuk dilestarikan daya dukungnya, fungsi dan perannya. Pasti akan terlihat bahwa selama 50 tahun terakhir telah terjadi penjajahan yang sangat sistematis dan masif.

Baca Juga :  PSBB Dan Mitigasi Covid-19. Opini Sherly Agustina

Seluruh garis pantai kita sudah jadi milik perorangan dan korporasi-korporasi yang sama sekali tidak memberikan kontribusi berarti terhadap orang-orang kampung di sekitarnya. Juga gunung-gunung, dieksplorasi dan diiris, menjadikannya kawasan industri pariwisata per-vilaan. Atau sumber daya geothermal pembangkit listrik. Entah siapa yang diuntungkan, yang jelas bukan rakyat, pemilik tanah ulayat yang sesungguhnya.

Dan hari ini orang-orang kampung yang bodoh kayak kita ini harus terus menerus membayar pajak dan aneka macam pungutan. Sampai benar-benar miskin melarat, hilang kemampuan ekonominya, dan akhirnya menjual lahan-lahannya.

Karena tidak mempunyai uang itu ibarat tidak mempunyai ruang. Mempunyai banyak uang ibarat mempunyai ruang yang luas sehingga dapat berdiri tegak dengan gagah. Seperti beruang sambil “mengaum” keras, dan lalu melakukan apapun. Maka ketika tidak mempunyai uang, ruang (lahan) pun dijual, ruang gerak menjadi sempit, sesak, kesana sini mentok.

Baca Juga :  Anies, Pemimpin Yang Dirindukan, Sebuah Opini Tony Rosyid

Bukan saja kutukan nenek moyang, orang-orang melarat kemudian juga harus membayar untuk berjalan tegak. Bahkan untuk mengubur orang tuanya sendiri. Di tanah yang tidak bisa lagi ia nikmati apa-apanya.

Loading...