oleh

Tabungan Perumahan Rakyat Yang Tidak Merakyat. Opini Atika Rahmah

Tabungan Perumahan Rakyat Yang Tidak Merakyat. Oleh: Atika Rahmah, Aktivis Muslimah Papua.

Belum selesai badai Corona, kini rakyat harus kembali mengelus dada setelah Presiden Joko Widodo meneken peraturan pemerintah (PP) nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat atau Tapera. Setelah kenaikan iuran BPJS beberapa waktu lalu, kini perusahaan dan pekerja akan dipungut iuran baru.

PP ini diteken pada 20 Mei 2020 dan diundangkan di tanggal yang sama. PP tersebut diantaranya mengatur pemotongan gaji 3% bagi PNS, pegawai BUMN dan BUMD dan 2,5% bagi pekerja swasta dan mandiri untuk Tapera. Berdasarkan Pasal 7 PP 25/2020 ini, BP Tapera tidak hanya mengelola dana perumahan bagi PNS, melainkan bisa diakses oleh seluruh perusahaan. Pekerjaan yang diwajibkan menjadi peserta BP Tapera adalah calon PNS, ASN, prajurit dan siswa TNI, Polri, pejabat negara, pekerja di BUMN, BUMD, Badan Usaha Milik Desa, perusahaan swasta, dan pekerja apa pun yang menerima upah. (mediaindonesia.com)

Munculnya PP Tapera ditengah pandemi tentu sangat menyakiti hati rakyat. Keputusan yang “katanya” untuk rakyat ini tapi nyatanya tak merakyat. Bagaimana mungkin rakyat disuruh membayar iuran lagi ditengah situasi yang sulit? Pemasukan berkurang namun pengeluaran terus bertambah. Harga bahan pokok yang kian meroket, tarif listrik pun tak mau kalah ikutan melambung tinggi, belum lagi kebutuhan kuota internet yang juga membengkak dimasa pandemi ini. Bukannya menghadirkan senyum di wajah rakyat yang tengah berduka dan terhimpit, tapi justru “dihadiahkan” air mata dan penderitaan yang kian dalam. Pemerintah yang menjadi tumpuan harapan rakyat, kini tak lagi peduli hati rakyat.

Anggota Komisi V DPR RI, Irwan Fecho, sebagaimana dilansir dalam mediaindonesia.com menyatakan situasi seperti ini sudah kelihatan pemerintah kehilangan arah penanganan ekonominya, dengan Undang-Undang (UU) Minerba, ditambah Perppu Korona. Kebijakan pemerintah yang tiba-tiba mengeluarkan PP untuk pemotongan iuran 3% ini terkesan karena nyari duit, akhirnya masyarakat yang jadi korbannya.

Baca Juga :  Satgas Yonif 642 Perbaiki Masjid At Taqwa

Akar Masalah : Kapitalisme yang Menggurita

Memiliki hunian dan tempat tinggal yang layak adalah impian setiap orang, serta merupakan kebutuhan vital yang menjadi kewajiban negera untuk memenuhinya. Hal ini sebenarnya sudah diatur Pasal 28A ayat 1 UUD 1945 bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera, lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Namun mengapa muncul PP Tapera?

Begitulah watak kapitalisme yang tak mungkin sejahterakan rakyat. Sebagaimana yang dikatakan oleh Irwan di atas, pemerintah sedang nyari duit. Dalam sistem Kapitalisme negara tidak mempunyai tanggung jawab untuk mengurus urusan pribadi rakyat. Negara tidak mempunyai kewajiban untuk menjamin pendidikan, kesehatan, tempat tinggal, dan kebutuhan dasar lain. Rakyat diminta mengurus dan menanggung kebutuhannya sendiri atau dengan bergorong royong sesama mereka.

Setelah rakyat diminta bergotong royong dengan jaminan kesehatannya, kini rakyat diminta bergotong royong dengan menghadirkan hunian yang layak.

Slogan “gotong royong” dianggap ampuh untuk menjadi senjata saat penolakan bermunculan. Saling bantu membantu diantara yang susah dan yang mampu sehingga akan mendatangkan pahala. Benarkah sesederhana itu ? gotong royong kok dipaksa?

Jika kita teliti lebih jauh, slogan tersebut hanyalah akal-akalannya pemerintah agar terhindar dari kewajibannya. Mewajibkan seluruh pekerja untuk berkontribusi memenuhi keperluan akan rumah tanpa melihat apakah yang bersangkutan sendiri sudah memiliki rumah atau belum justru bukti bahwa pemerintah abai terhadap tugasnya memenuhi hajat hidup yang pokok bagi rakyat.

Kita pun perlu mempertanyakan jika semua hajat rakyat dipenuhi secara gotong royong lalu dimana peran pemerintah? Kemana pajak yang selama ini diambil dari rakyat? Bukankah pajak dibayarkan untuk urusan rakyat? Tapi kenapa rakyat harus diminta untuk bergotong royong (lagi)?

Baca Juga :  KBPP Polri Kalteng Bertandang ke Resort Kapuas

Sekali lagi, Tapera menelanjangi kecacatan sistem Kapitalisme dalam pengurusan rakyat. Semua yang mendatangkan uang begitu menarik, karena bagi mereka “uang adalah segalanya”. Tak terkecuali pada Tapera, sanksi berupa denda pada pesera mandiri cukup menjadi bukti hal ini. khusus kantor akan adanya pencabutan izin usaha sebagai sanksi tambahan. Rakyat yang menderita adalah urusan lain yang tak masuk perhitungan.

Tinggalkan Kapitalisme Menuju Islam

Sistem kapitalisme yang merupakan produk buatan manusia telah nyata hanya membawa pada kesengsaraan. Saatnya kita move on menuju sistem yang berasal dari Zat Yang Maha Sempurna, Allah swt. Dalam pandangan Islam rumah termasuk kebutuhan primer bagi rakyat, selain pangan dan sandang.

Untuk memenuhi kebutuhan primer tersebut ada mekanisme yang telah diatur dalam Islam.

Pertama, mewajibkan setiap laki-laki yang mampu untuk bekerja agar dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarganya. Negera bertugas memfasilitasi agar mereka dapat bekerja. Baik dengan menciptakan lapangan kerja atau memberikan bantuan lahan, peralatan dan modal.

Kedua, bagi yang tidak mampu membeli, membangun, atau menyewa rumah, maka akan menajdi kewajiban kepala keluarga, ahli waris, dan kerabatnya.

Ketiga, jika tahap pertama dan kedua tak mampu menyelesaikan maka menjadi tanggung jawab negara untuk menyediakan rumah layak huni. Dengan memanfaatkan harta milik negara atau kepemilikan umum. Baik dengan cara menjual secara tunai atau kredit dengan harga terjangkau, atau dengan menyewakan, meminjamkan bahkan menghibahkan. Sehingga tak ada lagi rakyat yang homeless.

Islam terbukti memiliki solusi yang tepat untuk mengatasi masalah perumahan bagi rakyat. Lalu apakah kita masih ragu untuk berpindah pada sistem Islam?

Wallahu’alam bishshawab.

Loading...