oleh

UU Tapera, Cara Baru Memalak Rakyat. Opini Djumriah Lina Johan

UU Tapera, Cara Baru Memalak Rakyat

Oleh : Djumriah Lina Johan (Praktisi Pendidikan dan Pemerhati Sosial Ekonomi Islam)

Pemerintah lagi-lagi membuat geger penduduk Indonesia. Hal ini dikarenakan adanya pengesahan PP Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat. Di tengah peliknya kehidupan dibersamai virus corona yang masih enggan meninggalkan Bumi Pertiwi, penguasa kembali memperlihatkan hakikat jati diri mereka yang sebenarnya.

Dilansir dari tirto.id pada Selasa (2/6/2020) Presiden Joko Widodo menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Dalam aturan itu, seluruh pekerja diwajibkan mengikuti program Tapera.

Berdasarkan Pasal 7 PP 25/2020, BP Tapera tak hanya mengelola dana perumahan bagi pegawai negeri sipil (PNS), melainkan juga seluruh perusahaan. Peserta BP Tapera adalah calon PNS, aparatur sipil negara (ASN), prajurit dan siswa Tentara Nasional Indonesia (TNI), Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), pejabat negara, pekerja di Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), Badan Usaha Milik Desa, perusahaan swasta, dan pekerja apa pun yang menerima upah.

“Besaran simpanan peserta ditetapkan sebesar 3 persen dari gaji atau upah untuk peserta pekerja dan penghasilan untuk peserta pekerja mandiri,” bunyi pasal 15 ayat 1 PP 25 Tahun 2020. Skema Tabungan Perumahan Rakyat mengambil iuran dari pekerja dan pemberi kerja. Pemberi kerja menanggung 0,5 persen sementara pekerja 2,5 persen dari total gaji pegawai. Iuran itu maksimal dibayar tanggal 10 setiap bulan.

Kepesertaan Tapera berakhir jika pekerja memasuki masa pensiun; mencapai usia 58 tahun (syarat khusus bagi peserta mandiri); peserta meninggal dunia; atau peserta tidak memenuhi kriteria sebagai peserta 5 tahun berturut-turut. Peserta yang sudah berakhir masa kepesertaannya bisa memperoleh pengembalian simpanannya serta hasil pemupukannya yang bisa berupa deposito perbankan, surat utang pemerintah pusat, surat utang pemerintah daerah, surat berharga di bidang perumahan, atau bentuk investasi lain yang aman.

Menelaah peraturan Pemerintah di atas, jelas wajib untuk dikritisi :

Pertama, PP Nomor 25 Tahun 2020 nyatanya merupakan turunan dari beleid yang diundangkan empat tahun yang lalu, yakni UU Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) yang telah disahkan oleh DPR pada Selasa (23/2/2016). Legalisasi hukum tersebut berbuah beban baru bagi masyarakat Indonesia.

Baca Juga :  Ismahi Jakarta: Omnibus Law Untuk Buruh, Konglomerat Atau Penguasa?

Apalagi dengan skema pemotongan 3 persen sebagaimana pemberitaan di atas. Belum cukup dengan BPJS Kesehatan beserta drama naik turun iurannya, BPJS Ketenagakerjaan, dan berbagai pajak yang harus dibayar oleh rakyat. Pemerintah seakan sulit untuk dipuaskan dan semakin hari semakin kreatif membidik dompet penduduk negeri ini.

Kedua, regulasi ini secara terang-terangan menjadi payung hukum upaya pemalakan negara pada rakyat tanpa terkecuali. Sebab, ditengarai memiliki rumah atau tidak dan atau sedang menyicil rumah tetap wajib untuk ikut serta dalam program Tapera. Hal ini dimaksudkan agar warga negara yang belum memiliki rumah akhirnya bisa memperolehnya. Pemerintah menyebutnya sistem gotong royong. Miris sekali!

Ketiga, melalui payung hukum tersebut Pemerintah mencuci tangan untuk urusan pemenuhan papan bagi penduduk Indonesia. Padahal ini adalah salah satu tugas dan kewajiban negara. Penguasa malah seenaknya menyerahkan peranan tersebut ke tangan rakyat agar berusaha saling tolong-menolong dalam memiliki rumah. Entah apa yang merasuki rezim hingga tega menzalimi masyarakat? Tak kenal lelah dan letih memikirkan cara baru meraih keuntungan materi duniawi.

Keempat, jika mau jujur apalagi ditelisik lebih jauh, program ini sarat akan ketidakjelasan akad perjanjian. Tapera katanya untuk pengadaan rumah, di satu sisi juga mirip dengan Jaminan Hari Tua (JHT) di BPJS Ketenagakerjaan namun di sisi lain iuran Tapera bisa diinvestasikan dalam bentuk apapun sebagaimana pemberitaan di atas. Ini jelas bisa memicu adanya praktek pencucian uang, penyalahgunaan, hingga dikorupsi oleh berbagai pihak seperti kasus Jiwasraya. Maka jelas regulasi ini haram hukumnya.

Kelima, UU dan PP Tapera mengindikasikan hubungan erat antara pengusaha dengan penguasa. Bagaimana tidak? Dari regulasi ini kira-kira siapa yang diuntungkan? Jelas pengusaha real estate dan siapa saja yang bermitra dengannya. Begitupula dengan Pemerintah. Pemerintah akan mendapat kucuran dana segar per bulannya hasil dari jerih payah pekerja baik formal maupun informal. Dari jenis PNS hingga buruh lepas.

Keenam, inilah dampak sistemis kapitalisme sekuler. Ketika kehidupan diatur dengan hukum buatan manusia maka lahirlah sumber penderitaan bagi rakyat. Kapitalisme meniscayakan kemaslahatan pemilik modal di atas segala-galanya. Bahkan jika harus memeras darah dan keringat rakyat.

Negara pun didorong hanya sebagai regulator bukan pengayom dan penanggungjawab urusan masyarakat. Walhasil, kezaliman demi kezaliman akan terus mewarnai kehidupan umat selama kapitalisme sekuler masih mencengkeram erat.

Baca Juga :  Negara Ini Bukan Milik Jokowi dan Habib Rizieq

Keenam hal di atas tak akan kita temui ketika Islam diterapkan dalam bingkai kehidupan. Sebab, Allah SWT telah memberikan aturan yang khas yang mampu menyejahterakan, memberikan keberkahan, dan menciptakan ketentraman hidup. Hal ini telah terbukti selama kurun waktu 14 abad lamanya masa pemerintahan Islam.

Di dalam Islam, seorang ayah maupun suami wajib memenuhi kebutuhan pokok, berupa sandang, pangan, dan papan. Sebagaimana firman Allah di dalam Al Qur’an:

“Kewajiban ayah memberikan makan dan pakaian kepada ibu dengan cara yang makruf.” (TQS. Al Baqarah : 233)

“Tempatlah mereka (para istri) di tempat tinggal kalian, sesuai dengan kemampuan kalian.” (TQS. Ath Thalaq : 6)

Dan dalil As Sunnah, Ibnu Majah meriwayatkan hadis dari Abi Al Ahwash ra. yang mengatakan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Ingatlah, bahwa hak mereka atas kalian adalah agar kalian berbuat baik kepada mereka dalam (memberikan) pakaian dan makanan” (HR. Ibnu Majah).

Sehingga negara wajib membuka lapangan pekerjaan seluas-luasnya demi memudahkan ayah maupun suami untuk dapat memenuhi kebutuhan keluarganya. Ketika ayah atau suami tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan primer ini, maka syariah Islam telah merincikan tatacara membantu memenuhi kebutuhan keluarga tersebut. Mulai dari kerabat terdekat yang memiliki hubungan waris. Di mana pewaris yang dimaksud ialah siapa saja yang berhak mendapatkan warisan.

Apabila ia tidak mempunyai sanak saudara maupun kerabat maka kewajiban memenuhi kebutuhan nafkah tersebut jatuh kepada negara. Disinilah peran Baitul Mal, pada pos zakat. Dengan demikian, negara wajib menjamin terpenuhinya ketiga kebutuhan pokok tersebut.

Selain itu, negara wajib memberikan jaminan pendidikan, kesehatan, dan keamanan secara gratis. Hal ini pun terbukti di masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Tak ada seorangpun warga yang berhak mendapat zakat. Itu hanya berarti satu hal, yakni tidak ada rakyat yang hidup miskin.

Semua masyarakat hidup dalam kesejahteraan, keadilan, kemakmuran, serta kebahagiaan di dunia dan akhirat. Dari sini, tidakkah kita sebagai warga negara Indonesia ingin merasakan kenikmatan hidup diatur dengan hukum Islam? Wallahu a’lam bish shawab.

Loading...