oleh

Presisi: Konflik Hukum Civic Rohingya dan Pribumi Indonesia

Presisi: Konflik Hukum Civic Rohingya dan Pribumi Indonesia. Oleh: Djoko Edhi Abdurrahman (Anggota Komisi Hukum DPR 2004- 2009), Advokat, Wakil Sekretaris Lembaga Penyuluhan Bantuan Hukum Nahdlatul Ulama, PBNU) Review 2017, 2019.

Posisi kasus Rohingya adalah kebalikan masalah civic Indonesia. Kesamaan Rohingya dengan Pribumi Indonesia, yaitu sama-sama muncul karena konflik pembuatan undang-undang (UU). Pada 1989, Burma mengubah namanya menjadi Miyanmar, setelah menerbitkan UU Kewarganegaraannya pada 1982.

Karena bentuknya UU yang ditetapkan berdasar kebangsaan, maka kewarganegaraannya, memastikan UU ini, merupakan rundown dari konstitusinya. Konyolnya, UU ini membuang Rohingya, penduduk asli Rakhien (Arakan) karena mereka beragama Islam. UU ini tidak memasukkan warga negara Arakan yang, merupakan pribumi sebagai warga negara. Ini awal konflik Rohingya, yang kini menjadi agenda kerja fora internasional, ke depan. Tentu sulit bagi Indonesia. Karena walau negara muslim terbesar dunia, Indonesia sejak dipimpin Presiden Jokowi, sudah ketakutan kepada Cina Komunis. Bahkan protes kasus pelanggaran HAM berat muslim Uighur Xinjiang pun sudah tak berani. Sudah terkooptasi Xi Jinping.

Tentu saja ada alasan luar biasa dari junta militer berkuasa masa itu, sehingga mewajibkan DOM (Daerah Operasi Militer) di Rakhien, sama seperti alasan Rezim Megawati menyetujui DOM Aceh, dan DOM di zaman Orba di Indonesia.

Tak ada jalan lain untuk Rohingya, selain melawan. Berdamai tak ada jalannya, karena hak hukum mereka telah dicabut oleh UU Kewarganegaraan Burma sepenuhnya. Artinya, dengan mengeluarkan Rohingya sebagai warga negara, maka rakyat Rohingya tak memiliki hak hukum apa pun, sekaligus tak memiliki hak konstitusional.

Mereka tidak memiliki semua hak hukum dari negara dan pemerintah. Bahkan dari hak hukum hidup (hukum adat dan agama). Tanpa identitas negara atau kewarganegaraan, mereka lebih rendah dari pada hewan. Sadis!

Hal itu karena dalam ilmu negara dan ilmu hukum tata negara, negara hanya wajib melindungi warga negaranya. Dengan itu Rohingya, juga tak punya Protokol diplomatik dan protokol PBB tentang kewarganegaraan hukum internasional. Karenanya, perjuangan dunia internasional gagal menyelesaikan pelanggaran HAM berat. Gagal mencegah serangan militer terhadap Rohingya. Gagal membantu perjuangan rakyat Rohingya. Upaya regional untuk mengendalikan pelanggaran HAM berat di Rakhien, Miyanmar, terasa seperti dramaturgi yang endingnya menunggu godot (kematian). Mereka hanya punya satu jalan: melawan atau punah!

Baca Juga :  Tuhan Kirim Corona Untuk Arogansi Jokowi. Opini Djoko Edhi

RRC Kunci Panas Rohingya

Reaksi Internasional menurut undang-undang, sebatas untuk mengurangi pertumpahan darah pelanggaran HAM berat melawan militer, agar anak-anak dan perempuan, tidak dimusnahkan. Datanya menunjukkan operasi DOM pembersihan etnis, kejahatan tertinggi genocida, sudah seperti hollocaust oleh gereja abad 17 dan hollocaust oleh Fuhrer setelah Perang Dunia I. Itu satu.

Kedua, Rakhien butuh bantuan Indonesia seperti pada konflik Bosnia, di mana interferrensi PBB digunakan. Presiden Soeharto menggunakan hak ikut campur (hak ikut campur) untuk masuk ke daerah konflik Bosnia.

Hak itu hanya dimiliki PBB. Tapi di PBB Izin penggunaan hak interferensi sudah diganjal oleh Hak Veto RRC, satu dari lima anggota Dewan Keamanan Pemenang Perang Dunia II. Yaitu: (i) Amerika Serikat, (ii) Inggris, (iii) Perancis, (iv) Rusia, dan (v) RRC .

Kesepakatan Dewan Keamanan gugur jika salah satu dari Dewan Keamanan itu mengeluarkan Veto. Karenanya, mengatasi Rohingya sangat tergantung RRC. Sebelumnya, dua kali utusan PBB ditolak masuk ke Rakhien oleh Cina Komunis, dalam tiga bulan terakhir.

Konflk UU WNI

Senayan membuat UU WNI tahun 2005 yang Pansusnya diketuai Slamet Efendy Yusuf. Saya memasukkan nama Murdaya Poh sebagai wakil ketua, hasil persetujuan dengan Mbah Tardjo dan Mas Slamet. UU No 12/2008 tentang warga negara itu dirundown dari UUD 2002, hasil amandemen UUD 1945. Masalahnya Prof Sahetapi, menghapus Pribumi dari Pasal 6 Ayat 1 UUD 1945, yaitu “orang Indonesia asli”. Ini boom waktu karena setelah dibreakdown di UU No 12/2008, hoaqiau malah jadi pribumi dan menguasai Indonesia.

Sahetapi mengubah pribumi menjadi warga negara. Warga negara dan bangsa adalah sama di UUD 2002, padahal warga negara bisa siapa saja, termasuk orang asing. Ini paradoks terhadap Deklarasi Kemerdekaan (Proklamasi), dan The Bill of Rights (Preambule). Sementara pribumi (indegenius people) dilindungi oleh HAM PBB.

Setelah itu Presiden BJ Habibie bikin Inpres No 24 tahun 1999 yang melarang kata “pribumi” dipakai. Sekalipun larangan tersebut di lingkungan pemerintah, tetapi karena ruang publik, praktis seluruh kehidupan ikut serta. Dikunci pula dengan UU Anti Diskriminasi 1999, makin terdesak pribumi.
Akibat bikin UUD 2002 serampangan, hoaqiau (orang Tiongkok Perantauan) masuk jadi pribumi, sementara pribuminya musnah. Itu konflik mendatang yang menyangkut Piagam HAM internasional di mana pribumi dilindungi oleh Protokol HAM PBB.

Baca Juga :  Orang-Orang Merdeka, Catatan Akhir Tahun Syahganda Nainggolan
Hal mendasar soal Bangsa Indonesia berakar pada Naskah Proklamasi, bukan pada UUD 45. Yang pertama kali dibentuk adalah Bangsa, yaitu pada tanggal 17 Agustus 1945. “Kami bangsa Indonesia … Atas nama Bangsa Indonesia. Soekarno Hatta”. Naskah ini melahirkan Nation State (Negara Bangsa). Bukan Negara Warga Negara (Citizen State).
Baru esoknya 18 Agustus 1945 diumumkan pembentukan negara: Preambul, UUD 45, Presiden dan Wakil Presiden, dan teritori Indonesia.

Perbedaan genocida Indonesia dengan genocida Rohingya, di mana pribumi Rakhien dihilangkan dengan dibunuh massal, terutama mengorganisir konflik antar masyarakat sipil dan agama: membakar rumah mereka, merampok mereka, dan mengusir Rohingya. Sementara genocida Indonesia, menggunakan politik. Tapi hasil sama-sama pembersihan etnis.

Sama dengan Rohingya, kesalahan UU yang dilakukan Sahetapi dan Habibie, sulit diperbaiki. Para aktivis hukum sudah 13 tahun mencoba memperbaikinya, tapi tak berhasil. Perbaikan harus dilakukan di tingkat konstitusi, yaitu Amandemen ke V oleh MPR. Demikian pula konflik hukum Rohingya, harus mengubah UU Kewarganegaraan Burma dan konstitusinya.

Review
Saya baca di sayangi dot com, situs milik Bursah Zarnubi, rencana Kapolri Jenderal Tito Karnavian bertemu dengan Kepala Polisi Miyanmar. Apa yang mau dibahas? Meminta agar militer tidak menyerang Rohingya? Juga 4 agenda Menlu Retno yang mau ketemu Menlu Miyanmar, Auyang Suu Kyi. Tapi kan aneh, minta Suu Kyi melindungi Rohingya. Sebab, permintaan itu paradok dengan konstitusi dan UU Myanmar yang seolah meminta Suu Kyi melawan konstitusinya. Minta saja Myanmar dan Banglades maju ke meja perundingan ASEAN.

ASEAN kudu menyediakan daerah bebas, semacam Sharm El Sikh, Bukit Sinai Selatan di bawah Perjanjian Camp David 1974. Mengapa tidak?

Masalah lanjut adalah Pengungsi korban pelanggaran HAM berat Rohingya. Mereka harus dikembalikan seperti Perjanjian Balfour mengembalikan Yahudi ke Israel.

Loading...