Kebaya versus Jilbab. Oleh: Malika Dwi Ana, Pengamat Sosial Politik.
Belakangan ada yang sengaja membenturkan soal hijab (jilbab) dan kebaya. Dengan provokasi bahwa kebaya itu busana nasional, sedang jilbab itu budaya Timur Tengah. Ada klaim lebih Nasionalis Pancasilais kalau kebaya itu budaya asli nusantara. Seolah-olah kita memang punya set budaya sendiri, padahal sebenarnya kebudayaan maupun peradaban nusantara hanyalah replika.
Belanda datang dan membangun replika kebudayaan Eropa di Indonesia, begitu pula Islam yang membuat replika kekhalifahan Cordova di Indonesia, budaya-budaya replika ini kemudian kita jadikan acuan sebagai basis budaya nasional dengan cap sebagai budaya “asli”.
Dan kebaya adalah hasil reka cipta Belanda untuk pakaian wanita Belanda di koloninya, model dasarnya diambil dari pakaian wanita Tionghoa karena bahan-bahan kebaya waktu itu, terutama kain katun banyak diperdagangkan oleh saudagar-saudagar Cina. Sehingga boleh disimpulkan bahwa kebaya itu lahir di era “kolonial”, dan tidak “berakar” pada budaya Austronesia sendiri, yang aslinya bukan pake kain katun tetapi pake kain tenun ikat.
Karena tidak berakar dari basis Austronesianya, maka tidak ditemukan pola hiasan kebaya pada semua pola tenun ikat. Kebaya adalah hasil budaya “kontemporer”, bukan root culture, sehingga derajat kebaya menjadi sama dengan pakaian lain yang datang setelah era kolonial, termasuk pakaian dengan jilbab.
Jadi jika anda suka menyebut budaya “Arab” sebagai ejekan, dan kerap membandingkannya dengan budaya Nusantara, dengan kisah-kisah wayang dan kerajaan-kerajaannya, maka itu pun salah kaprah. Kalau Arab budayanya “gurun” pasir, maka budaya Sanskert adalah budaya “stepa” atau “lembah”, dua-duanya sama-sama budaya benua, dua-duanya tidak makan beras, dua-duanya tidak kenal lompat pulau.
Jadi sesama pendatang dilarang saling ejek, malu sama orang Jawa Asli yang keturunannya sekarang ada di timurnya Indonesia. Sudahlah, kalo mau asli-aslian, kembali saja pada keadaan berbusana bangsa Indonesia sebelum kedatangan bangsa pendatang. Ya kayak di Papua itu, yang laki pake koteka dan telanjang, sedang yang perempuan, pinggang keatas tidak pake “awer-awer” alias “wudo gondal-gandul. Gelem po?” Itu namanya totalitas menusantara.
Kok ya jadi kayak trend, kayak tidak keren kalo tidak membenturkan Islam dengan budaya, tradisi, dan ajaran-ajaran leluhur. Yang dimunculkan dan didramatisir adalah citra Islam yang intoleran, keras, dan anarkis. Uniknya mereka-mereka itu tetep betah dan maju hidupnya ditengah-tengah umat Islam yang katanya ini itu. Sebenarnya tidak ada namanya intoleransi, karena jika itu terjadi, orang-orang yang hidup di lingkup umat Islam bisa punah dong, omong kosong besar intoleransi.
Kembali saja pada relnya. Kita ini negara dengan keragaman yang sangat besar. Mbok ya yang pake kebaya jangan merasa paling nasionalis atau merasa paling Nusantara. Sebaliknya, yang pake jilbab dan burqa, juga jangan merasa paling islami dan punya kavling di sorga. Menjalani hidup dalam keberagaman itu sunnatullah, keniscayaan… Tuhan toh tidak menciptakan manusia ini seragam, tapi beragam… berbangsa-bangsa dengan beraneka budaya, bahasa dan adat istiadat. Dalam perbedaan ya bisa-bisanya kita menjaga keselarasan, keharmonisan, alias “tepa slira”, tenggang rasa, kata butir-butir P4 (Pedoman Penghayatan Pengamalan Pancasila) dulu.
Mestinya juga harus disadari orang hidup dengan tujuan yang berbeda-beda pula. Jadi tidak bisa juga kita menghakimi orang yang ingin masuk sorga dengan cara melaksanakan seruan agamanya, yakni berhijab. Yang penting kita tegaskan koridornya. Ruang publik kita atur bersama. Yang privat biarlah diurus individu atau keluarga.
Di ruang privat sih bebas. Saya tidak pernah mau negara ikutan ngatur. Bahaya kalau dikasih jalan masuk. Tetapi susah banget buat ngasih pesan begini. Yang satu pengennya bisa telanjang di mana-mana, yang satunya… orang dewasa mau tidur di kamarnya dengan siapa saja pengen diurusin.
Saya mah berpijaknya jelas. Ruang publik adalah ruang bersama. Mari kita atur bersama pada titik kompromi tertentu. Bukan main menang-menangan lalu lawan dilabelin radikal atau antek setan. Kapan kelar urusannya? Saya memang sebal saat kelompok liberalis bawa-bawa bhineka buat nyerang lawan politik. Dua-duanya buat saya sama katroknya. Mbok sudahi, berbusana itu soal etika dan kenyamanan.
Apalagi katanya demokrasi… orang mau telanjang, sepanjang ia nyaman ya mboyak, “luwéh kono”, sebaliknya yang nyaman dengan pakaian tertutup juga monggo saja. Kalo saya sih, pakaian ternyaman ya daster, saya tidak akan maksa yang tidak berdaster untuk ikut-ikutan berdaster, sampai saya main klaim bahwa daster itu pakaian asli rumahan, padahal di rumah masih ada yang suka pake baby doll, celana pendek atau celana training dan kaus. Apalagi bapak-bapak, jelas tidak akan saya paksa pake daster batik seperti punya saya, “mbok wani sumprit to!”
Alih-alih menumbuhkan kecintaan berbusana nusantara tapi sambil menginjak kelompok lainnya. Lalu tepuk dada merasa paling bhineka… pusing pala eykeh bo’!