Menyoal Maraknya Pernikahan Dini dan Permohonan Dispensasi Nikah
Oleh: Yuni Damayanti
Tren nikah dini meningkat di Kota Kendari, Propinsi Sulawesi Tenggara (Sultra), remaja perempuan dominasi pengajuan dispensasi nikah. Dispensasi nikah diajukan melalui Pengadilan Agama (PA) bagi yang beragama Islam dan Pengadilan Negeri (PN) bagi yang lainya. Pemberian dispensasi nikah oleh pengadilan kepada calon sumi atau istri yang belum berusia 19 tahun tersebut menjadi syarat menikah di kantor urusan agama (KUA).
Peningkatan jumlah pernikahan dini di Sultra disampaikan oleh Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak atau DP3A Kendari, Sitti Ganef. Menurut Ganef, jumlah pengaduan dispensasi nikah melalui pengadilan sepanjang tahun 2022 lalu sebanyak 36, jumlah tersebut meningkat 23 pengajuan dibandingkan tahun 2021 lalu yang hanya 13 dispensasi nikah. Adanya masalah di dalam keluarga seperti broken home sering membuat anak atau remaja kurang mendapatkan pembinaan hingga berujung pada pergaulan bebas. (tribunnewsSultra.com, 28/04/2023).
Bukan hanya di Kendari ramai pengajuan dispensasi nikah, beberapa bulan lalu di Ponorogo juga mengalami hal yang sama. Sudah bukan rahasia umum lagi pernikahan dini terjadi karena dipicu oleh pergaulan bebas yang berujung pada seks bebas dan hamil diluar nikah.
Maraknya permohonan dispensasi perkawinan di kalangan remaja selayaknya menjadi bahan untuk memikirkan ulang kebijakan secara sistemis. Upaya pembatasan usia pernikahan ditengah problem syahwat yang meneror dan mengontrol generasi butuh revisi sistemis. Mewujudkan generasi berkwalitas selayaknya sesuai dengan fitrah manusia.
Oleh karenanya negara berperan menyiapkan mental dan kesanggupan untuk menikah bagi para pemuda. Negara wajib memadamkan pemicu syahwat di ruang-ruang umum, seraya aktif melakukan edukasi pernikahan sesuai syariat agar mampu mewujudkan tujuan pernikahan.
Anehnya, pernikahan yang sejatinya merupakan solusi atas munculnya keinginan untuk memenuhi tuntutan naluri nau (ketertarikan terhadap lawan jenis) malah dianggap masalah. Pernikahan memang bukanlah satu fase yang mudah, tetapi dengan memaksimalkan peran setiap elemen, akan terwujud mental yang siap untuk memantaskan diri memasuki jenjang rumah tangga.
Pernikahan merupakan ibadah dengan kedudukan yang sangat penting dan sakral dalam Islam. Hingga disebut sebagai mitsaqan ghalizha dalam Al Quran, berarti perjanjian yang amat kukuh atau kuat. Sehingga tidak baik bila menyepelekannya, hingga menganggap enteng perceraian untuk menikah lagi.
Tujuan menikah dalam Islam memiliki arti begitu dalam bagi Allah SWT dan Nabi-Nya. Selain menciptakan generasi yang sholeh/sholehah, Allah menyampaikan berbagai berkah di balik pernikahan. Namun untuk mewujudkan pernikahan yang sakinah, mawaddah dan warahmah sangat sulit selama negara masih menganut sistem sekuler, memisahkan agama dari kehidupan. Sehingga masyarakat pun berbuat sesuai keinginanya tidak mau diatur dengan syariat.
Tentu sangat berbeda jika negara menerapkan hukum Islam secara keseluruhan dalam kehidupan. Mudah bagi Islam untuk memberantas perzinahan, cukup dengan melakukan pencegahan dengan menerapkan perintah Allah yaitu: menundukkan pandangan bagi laki-laki, menutup aurat bagi perempuan, dan membatasi interaksi antara laki-laki dan perempuan sebatas yang dibolehkan syariat, kemudian menerapkan sanksi rajam bagi pelaku zina dengan begini tentu saja tidak akan ada pernikahan yang dimulai dengan perzinahan.
Mewujudkan keluarga yang harmonis akan lebih mudah karena suami atau pun istri paham akan kewajiban masing-masing. Mereka menjalani pernikahanya semata-mata untuk beribadah dan mencari ridho Allah Swt. Selain itu dalam Islam pemerintah bertugas untuk memfilter konten-konten yang tidak sesuai dengan syariat di medsos dan memberikan sanksi bagi yang berupaya untuk merusak masyarakat. Demikianlah upaya Islam menjaga generasinya agar terhindar dari pergulan bebas yang merusak, wallahu a’lam bissowab.