oleh

Sesudah Jokowi Tumbang: (8) Hari H: Mengganti Rezim. Opini SBP

Sesudah Jokowi Tumbang: (8) Hari H: Mengganti Rezim

Ditulis oleh: Sri-Bintang Pamungkas, Aktivis.

Sebetulnya banyak dari kita ingin tahu, bagaimana suasana di masyarakat Hindia Belanda semasa masa penjajahan orang Bule-bule itu. Pastilah kritik-kritik kepada mereka diawasi… Tapi benarkah ada UU macam ITE…?! Tentu belum ada informasi digital… Tapi aturan semacam hate speech, lalu main comot, ditangkap, ditahan lalu diadili dan dipenjara… Apakah juga ada kemiskinan dan pengangguran sehingga orang bisa mati kelaparan?! Apakah ada rumah-rumah gubug…?! Dan juga Gepeng?!

Tentulah penduduk waktu penjajahan dulu tidak sebanyak sekarang ini…. Dan pada 1500an ketika mereka datang tentu penduduk belum banyak juga. Tapi dengan persenjataan mereka, nyatalah keris dan tombak tidak ada artinya. Tapi benarkah mereka sekejam Soeharto seperti terjadi di Talangsari dan tempat-tempat lain?! Benarkah Belanda-belanda itu sewenang-wenang macam Polri dan Tito Karnavian, Jaksa-jaksa dan Hakim-hakim kita sekarang ini?!

Aku hanya tahu, Ayahku adalah Hakim sewaktu Belanda masih ada. Dan digaji lumayan baik, sehingga bisa membangun rumah, cukup besar untuk Ibu dan enam saudaraku… Aku tidak pernah mendengar cerita dari Ibuku, bahwa Ayahku kejam seperti menghukum Terdakwa seenak-udelnya macam yang terjadi sekarang ini… Tentu, di mana-mana di Dunia sekarang pun ada unjukrasa yang dihadapkan kepada Polisi… Apalagi di tanah jajahan… Banyak suara dan pikiran yang tak bisa merdeka… Tapi benarkah sampai terjadi seperti May Crackdown dan September Crackdown kemarin?! Dan 700 petugas Pemilu tewas… dan lebih dari 8000 mati karena Covid-19?!

Aku juga tahu, bahwa KUHP kita nyontek dari Buku Hukum Pidana Belanda… Juga Buku Hukum Perdata kita. Bahkan itu hanya berlaku untuk Tanah Jajahan Hindia Belanda… Tapi benarkah ada orang kita yang dipenjara gara-gara melanggar Pasal Menghina Gubernur Jenderal atau menyampaikan perasaan kebencian kepada Pemerintah Penjajahan?! Yang aku dengar, kalau Soekarno mulai pidato yang nyrempet kekuasan, ada Belanda yang memperingatkannya agar tidak berlanjut.

Soekarno pernah diadili dan dipenjara, tapi dia bisa membela diri dengan gagah perkasa… Ketika Soekarno dibuang, dia dan keluarganya diberi uang saku. Juga Hatta, Syahrir dan lain-lain. Meskipun jumlah uangnya tidak cukup untuk hidup lumayan… Aku juga takjub membaca cerita Hatta ketika kapal yang menjemputnya di Digul menyusuri Sungai Memberamo datang tepat waktu, seperti sudah diberitahukan beberapa bulan sebelumnya. Kapal lalu membawanya ke Bandaneira.

Tentu semua tahu, kekayaan Nusantara dirampok dan dihisap sebanyak mereka mau untuk dibawa ke Belanda sampai mereka menjadi kayaraya seperti sekarang. Semua dari Tanah Jajahan… Tapi benarkah mereka juga melakukan korupsi seperti yang terjadi sekarang. Adakah orang Belanda yang korupsi ratusan Gulden setara semisal 500 juta USD-nya SBY atau Trilyunannya Joko Tjandra, Prayogo Pangestu dan lain-lain penjahat BLBI, lalu diadili dan dibui?! Adakah waktu itu Tuan-tuan Tanah Belanda macam Ciputra, Agung Podomoro, Agung Sedayu, Lippo Meikarta, Sumarecon, Sinarmas dan lain-lain?! Sangat mungkin kita sekarang ini sedang dijajah juga… beberapa kali lipat terjajah dibanding jaman Belanda…?!

Baca Juga :  Republik Indonesia Bab Dua/Pasca Jokowi (14) Kriminalisasi (2)

Mungkin Bangsa Nusantara cukup hidup berkecukupan di jaman Belanda karena disuapi dengan cukup kenyang, sekalipun tangan dan kaki “bak diborgol”. Lalu mulai 1800 ada sekolah-sekolah, juga ada Stovia dan Universitas Indonesia dengan Sekolah Tinggi Tekniknya di Bandung. Lalu ada para intelektual kita yg mengumandangkan kemerdekaan. Lalu kita mampu bersuara tentang Persatuan dan Kemerdekaan… Tapi tetap saja terjajah…

Hari H untuk mengganti Rezim Penjajah ini pasti datang… Tidak di Jaman Penjajahan, tapi juga di jaman Kemerdekaan. Bahkan SBP sudah menuliskannya beberapa tahun lalu tentang skenario datangnya Hari “H” dalam bukunya Setelah Hari H terbitan @2003…

Di dalam bukunya itu ditulisnya pada halaman 117:
“… Tidak lama kerumunan ratusan ribu masa itu menanti, mereka mendengar dari pengeras suara yang sudah dipasang, sebuah pernyataan pendapat yang mengandung ultimatum yang ditujukan kepada para petinggi Indonesia: …, maka dengan ini kami atas nama sebagian besar rakyat Indonesia dengan resmi meminta kepada pemerintah Republik Indonesia untuk mundur dari jabatannya masing-masing dalam tempo dua kali duapuluh empat jam…..”

Dan masih sayup-sayup terdengar selanjutnya: … Kami berharap agar seluruh rakyat Indonesia serta TNI dan Polri mendukung tuntutan kami ini dengan sepenuh hati…. Bahwa gerakan kami ini adalah demi menyelamatkan Negara Kesatuan Republik Indonesia dari Sabang hingga Merauke… Semoga Allah Sub’hana hu wa Ta’ala meridho tuntutan kami ini! Amin! Amin! Ya, Rabbal Alamin!…”

Lalu pada halaman 144:
Pada sekitar pukul 10:00 masa rakyat yang diawali hanya dengan 50 ribu itu terus bertambah. Pagar Gedung MPR/DPR sudah roboh, entah kapan… Potongan-potongan pagar pun sudah dibersihkan di beberapa tempat agar masa bisa masuk lebih banyak dan lebih mudah…

Hari Minggu pukul 14:00, yang ditunggu sebagai batas waktu ultimatum, tanpa terasa sampai juga. Seluruh halaman Gedung MPR/DPR sudah dipenuhi lautan manusia. Bahkan di tangga, atap dan altar yang mengantar orang ke ruang Sidang Utama juga sudah dipenuhi oleh masa rakyat…

Yang terlupa ditulis SBP adalah bahwa onggokan bangkai 8 sampai 10 water cannon dengan sisa-sisa api yang masih menyala masih terlihat, beserta kepulan asapnya disertai beberapa letusan kecil… Tapi tanpa kelihatan ada batang hidung petugas “lalat hijau” ataupun “lalat cokelat”… Sekalipun bau gosong bercampur gas yang membikin air-mata meleleh masih tercium di sana-sini… Gulungan kawat berduri pun menjadi tidak ada artinya lagi bagi 12 juta penduduk DKI Jakarta yang ikut tumpah-ruah di hari yang mirip Revolusi itu…

Baca Juga :  Republik Indonesia Bab Dua/Pasca Jokowi (16) Dalang Segala Bencana (3)

Apa yang ditulis SBP pada masa pemerintahan Megawati sebelum memasuki tahun 2002 itu tentu tidak sama dengan keadaan hampir 20 tahun kemudian… Tentulah situasi Rakyat, Bangsa dan Negara semasa Rezim Jokowi lebih luluh-lantak dibanding 20 tahun silam… Tetapi yang disebut Revolusi, sebagaimana ditulis John Dunn (dalam bukunya Revolution, @1997, pada halaman 15), semua sama:

A revolution happens, then, when a set of revolutionaries with quite complex ideas succeed in arousing in vast masses of man already discontented with prevailing order a sufficient sense of their own superior political and moral capacity to justify the masses in struggling to destroy the prevailing political – and to some degree social – order and to replace it with the political control of the revolutionaries.

Ketidakpuasan terhadap Rezim Jokowi sama seperti ketidakpuasan Orde Baru terhadap Orde Lama… Sama pula dengan ketidakpuasan para reformis 1998 terhadap Orde Baru… Sama pula dengan ketidakpuasan para Founding Fathers terhadap Rezim Penjajah Belanda dan Jepang. Penyelesaiannya pun sama: menumbangkan Rezim yang dianggap jahat! Karena itu Buku SBP @2003 itu perlu dibaca untuk menjadi pegangan dalam membuat langkah-langkah selanjutnya guna memulai dan menyelesaikan Revolusi 2020. Tentu dengan beberapa koreksi untuk menyesuaikan dengan keadaan sekarang…

Selanjutnya:
Apa yang kemudian terdengar pada malam hari itu di seluruh pelosok Tanah Air adalah terbentuknya Presidium Pemerintah Sementara yang terdiri dari lima orang… Presidium kemudian mengumumkan apa yang harus didengar oleh seluruh Rakyat Indonesia dan Dunia, yaitu bahwa MPR lama sudah dibubarkan dan diganti dengan MPRS; MPRS dengan susunan yang sesuai dengan UUD 18/8/45 memutuskan menyatakan kembali berlakunya UUD Asli tersebut di seluruh wilayah RI; dan Pemerintah Jokowi dinyatakan bubar dan sebagai gantinya dipilih Presidium yang akan menjadi Pemerintah Sementara sampai diselenggarakannya Pemilu.

Tentu tidak itu saja… Tentu ada Aturan Peralihan dan lain-lain. Tapi bukan itu yang menjadi perhatian rakyat, melainkan bagaimana langkah-langkah penyelamatan Negara selanjutnya untuk mencapai Cita-cita Proklamasi 1945. Terutama Penegakan Keadilan, Kebenaran dan Hukum, serta mewujudkan Kesejahteraan dan Kemakmuran bagi seluruh rakyat. Last but not least adalah memerdekakan rakyat dari kemiskinan dan ketimpangan sebagai akibat dominasi Mafia-mafia Cina dan RRC terhadap Pribumi… dan mengusir mereka!

Sehari sesudah pengumuman itu, Presidium memanggil semua Duta Besar Negara-Negara Tetangga, dan esoknya baru Negara-Negara Asing lainnya. Dua hari kemudian rakyat menyaksikan Kabinet Pemerintah Sementara terbentuk…
(habis)

Loading...