oleh

New Normal, Ilusi Normalisasi. Oleh: Lulu Nugroho

New Normal, Ilusi Normalisasi. Oleh: Lulu Nugroho, (Muslimah Revowriter Cirebon)

Pandemi Covid-19 kini memasuki babak baru. Setelah beragam kebijakan dikeluarkan penguasa mengiringi peristiwa yang berkelindan di tengah masyarakat, kali ini wacana penerapan new normal digadang-gadang sebagai solusi hidup di tengah wabah. Beberapa wilayah mulai menerapkan hal ini,  termasuk di antaranya Cirebon.

Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil sendiri memastikan pemberlakuan new normal di Jawa Barat akan dimulai di 15 kabupaten/kota yang sudah masuk dalam zona kewaspadaan level biru. Kota dan Kabupaten Cirebon termasuk di dalamnya. Dari data terbaru tersebut, maka per-hari ini Jawa Barat tidak lagi zona merah dengan kewaspadaan tinggi, melainkan terbagi menjadi zona biru 60% dan kuning 40%.

Dengan hasil ini pihaknya memutuskan akan menerapkan kebijakan new normal atau istilah yang diambil gugus tugas Jawa Barat dengan nama Adaptasi Kebiasaan Baru (AKB). (Beritaradar.com, 30/5/2020)

Kapolres Cirebon Kota, AKBP Syamsul Huda, mengungkapkan, jika istilah new normal life yang digunakan, dikhawatirkan masyarakat yang tidak mengerti, sehingga akan kembali ke zaman seperti belum ada Corona-19. (Republika.co.id, 30/5/2020)

Dengan status sebagai daerah zona biru, Kota Cirebon tetap melaksanakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) tahap ketiga, tetapi bersiap AKB. Namun demikian, Wakil Wali Kota Cirebon, Eti Herawati, meminta masyarakat untuk melaksanakan protokol pencegahan penyebaran Covid-19, seperti tidak berkerumun, jaga jarak dan memakai masker.

New Normal Life bukan kehidupan normal

Covid-19 telah melumpuhkan seluruh sendi kehidupan di tanah air. Memperbaiki satu bagian, membuat bagian lain terkatung-katung tanpa kepastian, atau bisa jadi hancur. Sebagaimana yang terjadi sekarang, alih-alih memutar roda perekonomian, akan tetapi keselamatan masyarakat menjadi taruhannya.

Baca Juga :  Dari New Normal Ke New Indonesia. Opini Tony Rosyid

Sebab hingga saat ini belum ada upaya nyata memutus rantai penyebaran virus. Tidak adanya vaksin, Alat Pelindung Diri (APD) yang memadai bagi tenaga kesehatan (nakes), kemudahan memperoleh layanan kesehatan yang terjangkau bagi seluruh masyarakat, dan lain sebagainya.

Dengan upaya minimalis seperti ini, maka sulit berharap Indonesia menuntaskan perkara pandemi. Solusi tambal sulam tidak akan membuahkan hasil yang baik. Bukan hanya tidak mampu memperbaiki seluruh kerusakan yang ditimbulkan, ia pun melahirkan banyak persoalan baru.

Hal yang demikian khas terjadi akibat penerapan sistem yang salah. Sekularisme yang menjadi asas pengurusan umat, adalah biang keladinya. Di dalam sekularisme, masyarakat tidak mendapatkan porsi yang layak untuk mendapat pengurusan. Maka wajar jika muncul kebijakan yang tidak berpihak pada masyarakat.

Melalui new normal, masyarakat didorong untuk  beraktivitas kembali seperti biasa. Sementara kondisi belum pulih seperti sedia kala. Sebab kali ini masyarakat terpaksa hidup berdampingan dengan virus. Inilah  normalisasi semu ala sekularisme.

Penjahat kelas kakap yang meluluhlantakkan seluruh negara di dunia, justru dirangkul di Indonesia, diberi ruang, dijadikan sahabat. Sungguh kebijakan yang tak masuk akal, sebab akan banyak masyarakat terpapar virus. Sangat berbahaya, yang kuat akan bertahan hidup, sedang yang lemah akan mati.

Banyak pakar mengritisi penerapan new normal, sebab kurva positif Covid-19 belum lagi landai. Angka penambahan kisaran 900 jelang 1000, kurva menukik ke atas. Maka pada akhirnya, kebijakan new normal digadang-gadang oleh berbagai pihak sebagai bunuh diri masal. Bukti bahwa pemerintah tidak mampu menyelesaikan masalah pandemi.

Tenaga medis pun menolak gagasan new normal. Sejak pandemi mewabah, puluhan perawat dan dokter telah berguguran. Dengan fasilitas kesehatan yang tidak memadai, minim proteksi, mereka terus berjibaku melawan virus. Lelahnya mereka tanpa kerja sama penguasa, membuat tagar #Indonesiaterserah sempat viral beberapa waktu lalu.

Baca Juga :  Potensi Terjadinya Kebuntuan Situasi Negara dan Rakyat Indonesia dan Resolusinya

Maka tidak heran, jika di Provinsi Jawa Timur sedikitnya 135 tenaga medis terkonfirmasi positif virus corona. Hal itu diungkapkan Ketua Rumpun Tracing Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Jatim, Kohar Hari Santoso. RS Unair-pun untuk sementara menghentikan pasien rujukan Covid -19. Tentu bukan kabar baik, sebab di saat garda terdepan ambruk, maka musuhpun masuk dengan leluasa.

Karenanya perlu upaya perombakan besar-besaran dan sistematis agar masyarakat bisa terbebas dari wabah penyakit. Perlu peran penguasa yang sungguh-sungguh memberikan solusi tepat dan siap menjadi pelindung. Berbeda dengan sekularisme, dalam Islam, negara bertanggung jawab terhadap seluruh urusan masyarakat.

“Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari)

Tidak hanya kepemimpinan yang berkualitas, Islam juga memiliki sistem ekonomi yang luar biasa baiknya. Seperangkat kebijakan negara terhadap masalah ekonomi, tertata rapi, sebab berasal dari aturan Allah. Dalam sistem ekonomi Islam, masyarakat mendapat hak penjagaan dari negara bagi seluruh kebutuhan pokoknya, juga kemudahan mengakses pendidikan dan kesehatan.

Maka bukanlah prestasi, memaksakan kehidupan normal gaya baru, demi menggerakkan roda perekonomian, dengan mempertaruhkan nyawa manusia. Kebijakan yang tumpang tindih dan tidak solutif di tengah pandemi, akan menjadi persoalan baru yang membebani.

Seyogianya negara mampu mengoptimalkan sumber-sumber kekayaan alam bagi kemaslahatan umat, sebagaimana Islam telah mengaturnya. Kemudian menyelesaikan problematika dengan solusi hakiki yang dilandasi iman. Sebab tanpa penerapan aturan Allah, maka akan sulit terwujud kesejahteraan bagi masyarakat, begitu pun halnya membebaskan mereka dari perkara pandemi.

Loading...